suara ilham

semoga Allah memberikan keberkahan hidup bagi yang beramal shaleh karena Allah

SELAMAT DATANG DIPORTAL THALIBUL ILMI SYAR'I

ANDA INGIN MOBIL BARU HUBUNGI GUE

jagalah hati jangan kau nodai dengan kepentingan duniawi.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 29 Agustus 2011

Menyatukan Idul Fitri Secara Syar’i dan Elegan

PDF Cetak E-mail
Menyatukan Idul Fitri Secara Syar’i Dalam Semangat Ukhuwah dan Persatuan Ummat
Oleh: Muhammad Zaitun Rasmin
  (Tulisan ini berangkat dari keprihatinan akan perbedaan umat Islam di Indonesia dalam melaksanakan shalat Idul Fitri, yang terjadi hampir setiap tahun)

Perbedaan hari Idul Fitri dan juga Idul Adha sangat penting untuk dicari solusinya. Sebab perbedaan hari Id di antara kaum muslimin akan mengurangi makna syiar Id sebagai hari persatuan dan solidaritas umat Islam, terutama bagi yang berada dalam satu Negara (wilayatulhukmi) atau dalam satu matla’. Berbeda dengan awal puasa yang sekalipun terjadi perbedaan hari, tidak terlalu menampakkan perbedaan diantara umat.
Simpul persoalan yang melatari perbedaan waktu shalat Idul Fitri ini adalah metode penetapan awal dan akhir Ramadhan. Yang dikenal ada dua metode: ru’yah dan hisab. Yang pertama dipegang oleh kalangan Nahdlatul Ulama (NU), sedang yang kedua dianut oleh Muhammadiyah. Ormas dan lembaga Islam lainnya umumnya terbagi pada salah satu pendapat diatas. Pemerintah sendiri berpegang pada metode pertama dengan tetap mempertimbangkan masukan dari penganut metode hisab. Karena itu pemerintah selalu mengadakan sidang itsbat (penetapan) awal dan akhir ramadhan setelah mendapatkan informasi tentang ru’yah dari berbagai tempat dan pihak yang melakukan ru’yah, serta mendengarkan pula masukan para ahli astronomi dan ormas atau pihak-pihak yang menganut metode hisab.
         
Bertahun-tahun persoalan ini tak kunjung tuntas. Pilihan maksimal sampai saat ini adalah saling menghargai pilihan masing-masing, dibarengi rasa ‘penyesalan’ menyaksikan pelaksanaan shalat Idul Fitri di hari yang berbeda. Padahal kita hidup di satu negara, bahkan satu wilayah dan kota. Kenyataan ini sangat memprihatinkan, mengingat negara-negara Islam lainnya tidak menghadapi persoalan yang sama. Malaysia misalnya, meski di sana juga terdapat ormas Muhammadiyah, tapi mereka bersatu melaksanakan idilfitri dihari yang sama dengan  pemerintah dan mayoritas penduduknya yang menganut metode ru’yah.

Memang tidak mudah mendapatkan solusi bagi masalah diatas. Terutama karena ummat telah terbiasa dengan pendapat bahwa perbedaan dalam hal-hal ibadah terutama menyangkut masalah ‘furu’iyah’ tidak perlu dipersoalkan dan diserahkan pada keyakinan masing-masing. Pemahaman ini sedikit banyaknya telah berkontribusi pada kekurang seriusan para  pemimpin ormas dan tokoh ummat dalam mencari solusi masalah tersebut. Sayangnya pihak pemerintahpun-yang seharusnya lebih berperan- kurang kuat dan tidak sungguh-sungguh dalam memecahkan masalah ini. 

Padahal masalah ini (penentuan awal dan akhir ramadhan) tidaklah sama dengan masalah-masalah furu’iyah yang umum, sebab masalah ini menyangkut ibadah jama’iyah dan syi’ar persatuan kaum muslimin, sementara yang lainnya umumnya adalah masalah yang menyangkut individu kaum muslimin sehingga perbedaan tentangnya sangat mudah difahami dan tidak mencolok. Kesulitan lain dalam mendapatkan solusinya adalah, setiap ormas merasa metode yang mereka gunakan adalah paling tepat dan syar’i. Karena itu bila ada tawaran solusi, tidak akan diterima kecuali diyakini sebagai solusi yang benar-benar mempunyai landasan syar’i yang kuat.

Dengan mempertimbangkan hal-hal diatas, penulis mencoba menawarkan solusi terhadap masalah tersebut.
Solusi ini berangkat dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah dan Tirmidzi, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

"(Waktu) puasa itu adalah ketika kalian berpuasa dan (waktu) Idul Fitri adalah ketika kalian beridul Fitri dan (waktu) Idul Adha adalah ketika kalian Beridul Adha.”

Hadits ini tidak menyinggung sama sekali tentang ru’yah atau hisab. Tapi ia menegaskan bahwa  puasa dan Idul Fitri serta Idul Adha  adalah ibadah jama’iyah (yang dilakukan secara bersama) umat Islam, sebagaimana yang dijelaskan maknanya oleh para ulama Hadist dan para fuqaha.(Shahih Imam Tirmidzi, Silsilah ash-Shahihah, Syaikh al-Albani, I/440 dan al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, II/ 9374-9375)

Karenanya, dalam sejarah Islam diketahui bahwa kaum Muslimin berpuasa atau berlebaran bukan karena masing-masing perorangan melihat bulan (ru’yah) atau dapat menghitung sendiri posisi bulan (hisab). Tapi berdasarkan pengumuman, baik lewat masjid atau dari mulut ke mulut, dan lainnya. Dalam kasus terdapat seorang muslim yang melihat bulan atau meyakini telah masuk puasa, tapi mayoritas umat tidak mengakuinya, maka maksimal yang dibolehkan baginya adalah berpuasa secara diam-diam, agar tidak mengganggu ketentraman dan persatuan umat di wilayah itu. Dengan demikian seharusnya awal puasa apalagi idulfitri dilakukan secara bersama sama oleh seluruh atau umumnya(assawadul a’dzam) kaum muslimin terutama mereka yang dalam satu negeri/Negara(wilayatulhukmi) atau dalam satu matla’.

Tujuan yang ingin dicapai oleh hadits ini begitu jelas, yakni menjaga  persatuan umat Islam dan syi’ar-syi’arnya yang merupakan kewajiban atas seluruh kaum muslimin.

Implementasinya jelas adalah dengan berpatokan pada penentuan Imam atau pemerintah kaum muslimin, seperti yang terjadi sepanjang sejarah nubuwwah dan khilafah kaum muslimin. Sebab pemerintah kaum muslimin adalah representasi dari kaum muslimin atau mayoritas mereka. Memang setelah runtuhnya khilafah dan kesultanan Islam, ada kegamangan tentang eksistensi pemerintah negeri-negeri Islam sebagai representasi ummat islam dalam urusan-urusan ibadah mereka. Itu dapat dimaklumi, tetapi pada kenyataannya kita kaum muslimin tidak mungkin melepaskan diri dari peran-peran pemerintahan mereka(dengan segala kekurangan dan keterbasannya) dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan umum atau kepentingan bersama kaum muslimin. Misalnya dalam masalah urusan nikah, cerai, wali hakim, waris dan haji.


Maka sepatutnyalah dalam masalah penentuan idilfitri, awal ramadhan dan idiladha, pemerintah kaum muslimin dapat difungsikan untuk memenuhi arahan hadits diatas. Apalagi untuk kasus pemerintah Indonesia, maka hal tersebut lebih kuat lagi.

Pertama, Pemerintah memang berkompoten dalam masalah ini, dengan adanya kementrian agama, bahkan direktorat dan bidang khusus pada kementrian tersebut yang mengurusi masalah ini.  Juga pemerintah sangat concern dalam persoalan ibadah ini melalui lembaga ru’yah dan ahli-ahli astronomi yang berpuncak pada sidang itsbat .

Kedua, Pemerintah, yang paling representative untuk mewakili umumnya atau mayoritas ummat islam Indonesia dalam masalah-masalah keummatan dalam berbagai bidang kehidupan.

Berdasarkan pada hal tersebut diatas, maka penulis menawarkan solusi dalam poin-poin berikut ini:

Pertama, seyogianya penentuan awal puasa dan Idul Fitri diserahkan kepada pemerintah, selama pemerintah itu berdaulat dan berkompeten dalam menentukan masalah tersebut, terlepas apapun metode yang dianutnya. Asas kompetensi ini sangat penting, karena ketika asas ini  absen, maka tugas itu pindah ke tangan para ulama dan tokoh umat Islam.

Kedua, setiap Muslim termasuk organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga Islam yang memiliki informasi tentang masalah ini wajib menyampaikan kepada pemerintah dan menyerahkan keputusannya pada mereka.

Ketiga, bagi muslim atau sekelompok orang atau organisasi yang telah meyakini masuknya 1 Ramadhan, tapi pemerintah—dengan alasan yang kuat—tidak menerimanya, maka menurut sebahagian ulama ia boleh berpuasa tetapi dengan diam-diam (sir). Sementara oleh sebagian ulama lainnya, mengharuskan mereka mengikuti mayoritas umat, dalam hal ini pemerintah, sebagaimana dijelaskan di atas.

Keempat, adapun jika dia meyakini telah masuk Idul Fitri tapi pemerintah tidak memperoleh informasi itu, atau punya alasan kuat untuk tidak menerima informasi itu, maka ia tidak boleh shalat Idul Fitri kecuali bersama-sama dengan mayoritas umat, dalam hal ini mengikuti pemerintah. Walau demikian, dalam kasus ini, sebagian ulama membolehkan atau mewajibkan dia untuk tidak berpuasa lagi pada hari yang ia yakini telah masuk 1 Syawal, tapi ia menunggu Idul Fitri bersama mayoritas umat. Dalilnya adalah hadits shohih yang diriwayatkan oleh imam Nasa-i dimana ada dua orang yang datang menyampaikan kepada Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wasallam- yang saat itu masih berpuasa-bahwa mereka di malam hari telah melihat bulan sabit Syawwal. Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan para shahabat untuk berbuka, tetapi sholat idil fitrinya nanti pada keesokan harinya. Imam Syafii berkata bahwa barang siapa yang telah melihat bulan (meyakini telah masuk   1 syawal) maka wajib berbuka, tetapi sholat  idilfitrinya bersama  kaum muslimin.

Kelima : Sesuatu yang dipandang baik bahkan sunnah dapat ditinggalkan-sementara- demi kemaslahatan yang lebih besar atau hal yang wajib. Dalam hal ini kita mendapatkan contoh dari Rosulullah shallahu ‘alaihi wasallam, dimana beliau meninggalkan sesuatu yang beliau pandang baik tapi bukan wajib demi menjaga keutuhan umatnya. Seperti dalam hadits shohih dari Aisyah Radiayallahu ‘anha dimana beliau tidak jadi mengubah bentuk Ka’bah sesuai bentuk aslinya di zaman Ibrahim, karena mempertimbangkan kaum persatuan dan perasaan kaum Quraisy yang baru umumnya baru masuk Islam . Contoh lain adalah  Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu  salah seorang ulama shahabat  yang mengkritik khalifah Utsman radiyallahu ‘anhu dalam perkara tidak mengqoshar shalat (dhuhur,ashar dan isya) di Mina dan beliau meyakini itu bertentangan dengan sunnah. Tetapi ketika  haji , beliau (Ibnu Mas’ud) radiyallahu ‘anhu meninggalkan pendapatnya untuk tidak mengqoshar sholatnya (mengikuti pendapat sang Khalifah) demi persatuan ummat.


Keenam:  Tentang metode penetapan awal dan akhir ramadhan dapat terus didiskusikan secara ilmiyah untuk mencapai kebenaran atau kesepakatan terbaik dengan semangat husnudzzan dan saling menghormati. Maka dalam hal ini metode apapun yang menjadi dasar pemerintah dalam menetapkannya harus dihargai. Dan harus ada konsinstensi dan kelapangan dada dalam menerimanya. Jadi kalau sekarang pemerintah menganut metode ru’yah maka yang menganut hisab harus berlapang dada. Dan jika suatu saat pemerintah menganut metode hisab, maka yang menganut metode ru’yah harus berlapang dada.


Ketujuh: Pemahaman  bahwa perbedaan telah menjadi suatu keniscayaan dapat dimaklumi. Tapi jika pada perbedaan itu ada titik temu yang berlandaskan syar’i dan sejalan dengan ruh dan petunjuk Islam yang mengedepankan persatuan, maka tidak ada alasan untuk terus memelihara perbedaan  yang ada apalagi yang sangat mencolok dan tidak lumrah.

Akhirnya, teriring harapan agar ormas dan semua pihak yang telah atau akan menentukan hari Id yang berbeda dengan apa yang ditetapkan oleh pemerintah kiranya dapat menyesuaikan dengan apa yang akan ditetapkan oleh pemerintah yang merupakan representasi mayoritas umat Islam. Meski dipersilakan untuk tidak berpuasa pada hari yang telah diyakini sebagai hari Idul Fitri.

Di sisi lain, ormas dan kaum muslimin yang sejalan dengan penetapan pemerintah hendaknya pula tidak membanggakan diri. Sebaliknya, harus menghargai orang-orang atau organisasi yang sekalipun mereka tidak berpuasa lagi, tapi mau menyesuaikan shalat idnya dengan mayoritas umat dalam rangka menjaga persatuan dan ukhuwah Islamiyah.

Semoga Allah senantiasa membimbing dan mencurahkan rahmat dan berkahnya kepada kita semua.

Khutbah Idul Fitri


KHUTBAH SERAGAM IDUL FITRI 1432 H
WAHDAH ISLAMIYAH BONE
JUDUL : KEBENARAN PASTI MENANG

إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَرْسَلَهُ بِالْحَقِّ بَشِيْراً وَنَذِيْراً بَيْنَ يَدَيْ السَّاعَةِ مَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ رَشَدَ وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَإِنَّهُ لاَ يَضُرُّ إَلاَّ نَفْسَهُ وَلاَ يَضُرُّ اللهَ شَيْئاً .
( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ )
( يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا ) 
( يأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا )
أَمَّا بَعْدُ ، فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ .

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, La Ilaha Illallah Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahi al-Hamdu.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Lantunan takbir, tahlil dan tahmid kembali bergempita di pagi hari bahagia ini. Pertanda kemenangan dan sukacita setelah menyelesaikan ibadah puasa beserta ibadah lainnya di bulan Ramadhan. Sekalipun di lubuk hati masih tersisa kesedihan berpisah dengan bulan suci Ramadhan yang penuh berkah, namun kesempurnaan ibadah di bulan Ramadhan patut dirayakan pada hari ini sebagaimana perintah Allah I
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ [البقرة : 185]

“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” QS. al-Baqarah (02):185.
            Kesempurnaan ibadah pada bulan Ramadhan lalu juga diiringi dengan harapan yang penuh kepada Allah Rabb al-‘Izzah agar berkenan menerima segala yang telah dipersembahkan untuk-Nya berupa ibadah puasa, shalat tarawih, bacaan Alquran, zakat dan sedekah serta ibadah lainnya. Hanya pada-Nya tempat memohon dan segala harapan dipanjatkan.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahi al-Hamdu
Kaum Muslimin yang Berbahagia,
            Bulan suci Ramadhan yang baru saja berlalu ini memberikan pelajaran-pelajaran berharga bagi kita semua, kaum muslimin. Di antaranya adalah sikap optimisme menghadapi permasalahan-permasalahan bangsa, bersama keyakinan yang kuat bahwa segala ketidakbenaran yang saat ini masih dominan pasti akan tersisih. Ibadah puasa dan shalat tarawih mendidik kita untuk bersabar menghadapi beratnya cobaan yang akan berujung pada kemenangan dan kebahagiaan.
Sepanjang tahun ini, kita disuguhi peristiwa-peristiwa yang memilukan hati khususnya sebagai anak bangsa. Kasus-kasus mega korupsi tidak pernah berhenti,seperti kasus bank century, kasus mafia pajak, penggelapan dana nasabah bank, kasus Muh. Nasaruddin hingga  yang terjadi di dunia politik, seperti pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi, hingga yang terjadi di dunia pendidikan, seperti nyontek massal pada saat Ujian Nasional (UN). Kebenaran dan kebatilan yang dibolak-balik juga terjadi di bidang keagamaan, kerusuhan Cikeusik yang melibatkan jemaah Ahmadiyah dan masyarakat setempat digambarkan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Pembelaan terhadap ajaran Islam yang dinodai oleh pemahaman menyimpang seperti yang dilakukan Ahmadiyah dan Syiah justru dianggap sebagai kekeliruan karena bertentangan dengan kebebasan beragama.
Peristiwa-peristiwa ini membuat sebagian masyarakat merasa pesimis menghadapi masa depan bangsa. Bayangan buram dari kondisi ini memunculkan rasa takut terhadap kemandirian negara, generasi pengusung kebenaran sekalipun bertambah namun tidak sebanding dengan derasnya arus kemungkaran.  
Tetapi apapun yang terjadi, sifat pesimis dan ketakutan tidak boleh menenggelamkan rasa percaya dan optimisme kita semua akan tegaknya kebenaran atau membenamkan rasa yakin kita akan datangnya janji Allah I. Tegaknya nilai-nilai kejayaan dan kejujuran adalah suatu keniscayaan, kebenaran pasti akan datang dengan segala cahayanya sekuat apapun pengusung kebatilan menyembunyikannya. Optimisme adalah sifat orang beriman, kekuatan husnu zhan (prasangka baik) kepada Allah I menjadi pondasi buat membangun kepercayaan diri agar berbuat yang terbaik dan menyingkirkan bayang-bayang kemunduran.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahi al-Hamdu
Kaum Muslimin yang Berbahagia,
Sifat optimis akan tegaknya kebenaran diajarkan oleh Alquran dan sunnah Rasulullah e. Di antaranya adalah firman Allah I:
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ [الصف : 8]

“Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahayaNya meskipun orang-orang kafir benci.” QS. al-Shaf (61):8
Derasnya upaya pengusung kebatilan buat memadamkan cahaya kebenaran tidak akan membuahkan hasil sedikitpun kecuali hanya pada sementara waktu. Kebenaran nampak redup ibarat lilin tertiup angin malam, terbawa ke kiri dan kanan hingga akhirnya kembali ke posisi tegaknya dengan lebih kokoh. Kesempurnaan cahaya kebenaran tidak akan terhalangi oleh kabut kegelapan seberapapun tebalnya. Allah I menguatkan orang-orang beriman dengan ayat ini agar meyakini kemenangan kebenaran dalam pertarungannya melawan kebatilan.
Pada ayat lain, Allah I berfirman:
وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ [يوسف : 21]

“Dan Allah berkuasa terhadap urusanNya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” QS. Yusuf (12):21
            Kebenaran datang dari Allah I dan Dia berjanji dalam ayat ini bahwa kebenaran pasti menang meskipun orang tidak meyakininya. Allah tidak pernah dan tidak mungkin mengingkari janjiNya. Suatu pelajaran optimisme yang kuat buat menghilangkan segala keraguan akan dominasi kebatilan atas kebenaran pada saat seperti sekarang ini.
            Dalam hadis yang dikeluarkan oleh Imam al-Thabrani disebutkan kisah Rasulullah e pada saat menggali parit dalam peristiwa Perang Ahzab atau Perang Sekutu, menghadapi tekanan kuat kaum sekutu yang dipelopori oleh Suku Quraisy dan mengepung Kota Madinah. Di tengah penggalian parit yang akan menjadi penghalang kaum sekutu untuk masuk menerjang Kota Madinah, terdapat sebongkah batu karang yang besar menghalangi kelanjutan penggalian, hingga Rasulullah e turun tangan dan berusaha memecahkan batu itu. Pada pukulan pertama, terpancar percikan sinar yang tinggi dan terdengar Rasulullah e dengan suara keras berkata: “Allahu Akbar, demi Allah (aku melihat) istana-istana Bangsa Romawi.” Dilanjutkan dengan pukulan kedua, kembali terpancar percikan sinar dan Rasulullah e berteriak: “Allahu Akbar, demi Allah (aku melihat) istana-istana bangsa Persia.” Kaum Munafik menimpali: “Ia menjanjikan kita (penaklukan) Bangsa Romawi dan Bangsa Persia padahal kita sedang berupaya mempertahankan kota ini dengan parit ?”.
            Rasulullah e menanamkan ke dalam dada para sahabat pada saat itu sifat optimisme di tengah kondisi yang mencekam mereka sebagai warga Kota Madinah dan terkepung oleh pasukan kaum sekutu. Berpandangan jauh melampaui kondisi kekinian dan obsesi yang tinggi melebihi angan-angan memberikan hembusan kuat ke dalam diri akan keyakinan tegaknya kebenaran hanya tinggal menunggu waktu.
            Kebenaran pasti menang dan kebatilan akan tersisih seperti yang digambarkan oleh Allah I di dalam Alquran, terjemahnya:
“Allah telah menurunkan air hujan dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus akan membawa buih yang mengembang. Dan dari logam yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada pula buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan bagi yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu. akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya, adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.” QS. al-Ra’du (13):17
            Kebenaran memiliki kekuatan perubahan, kuatnya budaya jahiliyah di zaman dahulu berhasil diluluh-lantakkan oleh dakwah tauhid yang menjadi pondasi terkuat gerakan kebenaran. Kebenaran membawa manfaat bagi umat manusia, maka kebenaran ini akan kekal sekekal bumi dan langit. Kebenaran adalah cahaya seterang mentari, maka tidak ada satu kekuatanpun yang dapat meredupkannya. Kebenaran datang dari Allah I, maka jangan sekali-kali ragu atau khawatir terhadapnya.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahi al-Hamdu
Kaum Muslimin yang Berbahagia,
            Kebenaran akan tegak adalah suatu keniscayaan, namun dalam kehidupan dunia berlaku sunnatullah dan sunnatullah tidak mengalami perubahan. Segala yang diharapkan menang maka harus diperjuangkan, demikian pula dengan kebenaran ini, para pengusungnya mesti konsisten memperjuangkan nilai-nilainya. Sedikitnya ada dua sifat yang harus ada pada diri pengusung kebenaran, yaitu: kesungguhan dan kesabaran.
            Kesungguhan (al-jiddiyah) berarti memahami esensi kebenaran, menegakkan dan memperjuangkannya dengan penuh keseriusan. Berbuat yang benar secara jujur  meski mendapatkan rintangan atau menyampaikan nilai-nilai kebenaran sekuat-kuatnya sekalipun menemui tantangan dari orang banyak.  
            Kesabaran menjadi sifat selanjutnya yang mesti ada dalam diri pengusung kebenaran. Kesabaran berwujud pada konsistensi (istiqamah) mengamalkan kebenaran dan memperjuangkannya tanpa pernah mengenal kata putus atau mundur sekalipun cobaan mendera bertubi-tubi. Keteladanan para rasul utusan Allah I dan pengikut setia mereka (sahabat) dalam hal ini menjadi pelita. Beratnya cobaan, hingga dari orang terdekat sekalipun, tidak menyurutkan upaya setiap mereka menyampaikan risalah Ilahiyah ini dan menunjuki umatnya ke jalan yang diridhai Allah I.  
            Kedua sifat ini, kesungguhan dan kesabaran juga menjadi buah dari internalisasi (penanaman) Islam dalam diri setiap pribadi. Pembinaan pribadi (tarbiyah) yang lurus, terarah dan konsisten adalah proses penanaman nilai yang mesti diperhatikan. Kecemerlangan generasi sahabat Rasulullah e pada zaman keemasan Islam merupakan contoh hasil pembinaan yang dilakukan oleh Rasulullah e secara konsisten. Generasi sahabat y berhasil menampilkan kebenaran yang integral dalam diri setiap mereka dan dengan konsistensi memperjuangkannya akhirnya kebenaran itu tegak dan dirasakan oleh masyarakat sebagai kesejahteraan.
Kondisi ini menjadi ajakan untuk mewarnai diri dan hidup kita dengan nilai-nilai kebenaran serta memperjuangkannya sepenuh hati secara terus menerus dan tanpa putus harapan. Optimisme diwujudkan dalam bentuk upaya yang berproses tanpa henti dan upaya itu dimulai dari diri kita masing-masing.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahi al-Hamdu
            Ajakan dan seruan kepada penguasa, kami sebagai anak bangsa hanya menghendaki negara ini dikelola dengan penuh keadilan. Kebenaran dijunjung tinggi dan ditegakkan selurus-lurusnya, kebatilan diperangi dan tidak diberi tempat di tengah masyarakat. Keadilan ilahiyah yang merupakan tiang penegak kehidupan adalah jaminan kesejahteraan dan keamanan negeri. Keadilan ilahiyah ini telah pernah ditegakkan oleh pemerintah umat Islam pada zaman-zaman lampau, seperti yang dilakukan oleh ‘Umar bin ‘Abdul Azis dan Harun al-Rasyid hingga mampu memberikan kepada masyarakatnya tingkat kesejahteraan yang tinggi. Lembaran sejarah mengabadikan limpahan harta yang banyak pada zaman itu hingga tidak ada seorangpun yang mau menerima zakat dan sedekah, bahkan gudang penyimpanan bahan makanan milik negara tidak mampu menampung harta yang masuk. Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azis memerintahkan untuk menyebarkan bahan makanan itu ke segenap penjuru negeri buat dikonsumsi oleh hewan dan burung-burung yang beterbangan, seraya berseru: “Agar bangsa lain dapat menilai, tidak ada seekor burungpun yang menderita kelaparan di negeri kaum muslimin”. Kemiskinan sangat kurang dan kesejahteraan meningkat sebagai buah dari tegaknya keadilan dan kuatnya akar keimanan di tengah masyarakat.
            Nasihat kepada segenap orang tua, kami mengingatkan bahwa kebaikan dan keburukan bangsa ditentukan oleh kualitas generasi yang tumbuh di dalam rumah. Maka, jadilah orang tua yang membina anak-anaknya sebagai generasi yang saleh, mengenali Allah, Rasulullah dan agama Islam serta mencintainya dengan sepenuh hati. Peliharalah adab-adab Islam di dalam rumah tangga, segera menunaikan shalat begitu tiba waktunya, memakmurkan rumah tangga dengan bacaan Alquran dan tradisi menuntut ilmu, menghormati orang yang lebih tua dan menyayangi orang yang lebih muda. Rumah tangga adalah tempat pembinaan pertama setiap anak, maka mari menjadikan rumah tangga kita masing-masing sebagai madrasah unggulan.
Nasihat kepada kaum wanita, kemuliaan dan kehormatan seorang wanita ditentukan oleh iman dan rasa malu dalam dirinya. Agama Islam telah membimbing kaum wanita agar menjaga kemuliaannya dengan busana yang menutup aurat dan pergaulan yang sopan atas dasar rasa malu. Maka wahai kaum wanita muslimah, tutuplah aurat anda sekalian dengan jilbab dan pakaian muslimah, peliharalah rasa malu anda sekalian dengan iman dan pergaulan yang baik. Jagalah tuntunan agama Islam dalam setiap perkataan dan tingkah laku, janganlah mengumbar harga diri hingga mempermalukan orang tua, keluarga dan masyarakat. Tanamkan rasa bangga sebagai muslimah ke dalam hati dan berbuatlah yang terbaik buat umat Islam bukan seperti yang diinginkan oleh kaum feminis dengan seruan emansipasinya. Persamaan hak antara anda dan kaum lelaki di hadapan Allah adalah sebagai hamba yang diperintahkan beribadah, masing-masing sesuai kodrat dan fitrahnya. Wahai kaum wanita muslimah, jagalah shalat, banyaklah bersedekah dan hindarilah ghibah (menceritakan keburukan orang lain) serta mencela atau mengejek sesama.
            Nasihat kepada segenap generasi muda Islam, masa muda adalah waktu terbaik buat menuntut ilmu dan berkarya untuk kegemilangan hari esok. Tuntutlah ilmu yang bermanfaat setinggi-tingginya dan berbuatlah yang terbaik bukan hanya untuk diri sendiri tapi juga buat bangsa, negara dan umat Islam. Manfaatkanlah waktu sebaik-baiknya dengan beribadah kepada Allah I dan jangan disia-siakan dengan bersenda gurau tanpa manfaat atau dihabiskan dengan begadang malam di tempat-tempat maksiat.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahi al-Hamdu
Kaum Muslimin yang Berbahagia,
            Menyambung ibadah dengan ibadah adalah suatu kemuliaan. Berpuasa di bulan suci Ramadhan telah berlalu, namun dianjurkan bagi setiap muslim untuk berpuasa di bulan Syawal ini sebanyak 6 hari. Sebagaimana sabda Rasulullah e:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالَ فَكَأَنَّمَا صَامَ الدَّهْرَ

“Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan, lalu berpuasa 6 hari pada bulan Syawal, maka seakan-akan ia telah berpuasa setahun lamanya”. HR. Muslim.
Pelaksanaannya dapat dilakukan berturut-turut atau berpisah-pisah. Bagi yang memiliki utang puasa Ramadhan, maka sebaiknya ia mengganti terlebih dahulu puasa itu, lalu berpuasa 6 hari bulan Syawal, kecuali jika waktu untuk berpuasa tidak mencukupi semuanya, maka dibolehkan berpuasa Syawal dan mengganti utang puasa Ramadhan pada bulan-bulan berikutnya.
Akhirnya, di hari yang mulia ini, marilah kita sekali lagi memuji dan bersyukur kepada Allah seraya menundukkan hati, pandangan dan wajah kita, berdo’a dan bermunajat kepada Allah I
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على رسوله الأمين و على آله وصحبه والتابعين،
اللَّهُمَّ إِنَّا نَحْمَدُكَ بِأَنَّكَ أَهْلٌ أَنْ تُحْمَد وَنَشْكُرُكَ بِأَنَّكَ أَهْلٌ أَنْ تُشْكَر وَنُثْنِيْ عَلَيْكَ الْخَيْرَ كُلَّهُ فَإِنَّكَ أَنْتَ أَهْلُ الْمَجْدِ وَالثَّناَءِ ، رَبَّناَ ظَلَمْناَ أَنْفُسَناَ ظُلْماً كَثِيْراَ وَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ فَاغْفِرْ لَناَ مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْناَ إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُوْرُ الرَحِيْم
Ya Allah, Engakulah Penguasa langit dan bumi, Penguasa dunia dan akhirat, kami datang kepadaMu di hari yang penuh berkah ini mengadukan beratnya dosa yang telah kami lakukan. Kami sadar bahwa nikmat pemberianMu belumlah dapat kami syukuri dengan sebenarnya, kami mengaku kesalahan kami lebih banyak dari kebaikan kami, namun kami yakin bahwa Engkau adalah Dzat Yang Maha Pengampun, Maha Pengasih dan Penyayang, maka kami berharap kepada-Mu, Ya Allah ampunkanlah segala dosa dan kesalahan kami.
Ya Allah, Tuhan kami Yang Maha Melihat dan Maha Mendengar, hanya kepada-Mu kami adukan beratnya kondisi kami saat ini, bimbinglah kami agar selalu berjalan di jalan-Mu, mendapat kasih sayang-Mu, menggapai cinta dan ridha-Mu. Ya Allah, kami adalah makhluk dan hamba-Mu yang selalu bergantung kepada-Mu, butuh akan rahmat dan petunjuk-Mu, Ya Allah kasihilah kami, tunjukilah kami ke jalan yang lurus.
Ya Allah, kedua ayah ibu kami adalah orang yang pertama kali berjasa kepada kami, memperkenalkan kami kepada-Mu, merawat, mendidik dan membimbing kami dengan penuh kesabaran, tak jarang airmata mereka tumpah karena ulah kami, Ya Allah tak ada yang mampu kami berikan kepada mereka kecuali seuntai doa kepada-Mu untuk mengampunkan kekhilafan dan kesalahan mereka, melimpahkan kasih sayang dan rahmat kepada mereka, ampunkan mereka yang telah wafat, bimbing dan tunjukilah mereka yang masih bersama kami dan jadikanlah kami orang yang mampu berbakti kepada mereka sesuai tuntunan-Mu, Engkaulah Dzat Yang Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan Doa.
Ya Allah, kami sadar bahwa mengatur hajat hidup orang banyak tidaklah mudah, butuh kekuatan dan kesabaran, terkadang harapan berbuat kebaikan tidaklah berbuah kebaikan di kenyataan, Ya Allah tunjukilah para pemimpin kami kepada jalan-Mu yang lurus, bimbinglah mereka agar senantiasa berbuat adil dengan syari’at-Mu, tuntunlah mereka agar lebih sayang kepada masyarakatnya dan berilah kami semua kesabaran melewati segala cobaan yang engkau timpakan kepada kami lewat mereka.
Ya Allah berkahilah negeri kami ini dan seluruh negeri kaum muslimin dengan ketaatan kepada-Mu, yang akan mengundang curahan rahmat-Mu. Lindungilah negeri kami ini dan seluruh negeri kaum muslimin dari busuknya dosa dan pengingkaran atas syari’at-Mu. Ya Allah janganlah Engkau timpakan azab atas kami karena kezaliman sebagian orang di antara kami. Berikankanlah pemimpin-pemimpin kami keyakinan dan kemampuan untuk menjalankan syari’at-Mu, yang dengannya mereka membimbing kami menuju keselamatan di dunia dan di akhirat.
Ya Allah, Dzat Yang Maha Mengabulkan Doa, terima dan kabulkanlah segala amal ibadah kami di bulan Ramadhan lalu dan berikanlah kami kekuatan untuk mempertahankan amal ibadah tersebut di bulan ini dan bulan-bulan selanjutnya. Kabulkanlah doa kami ini Ya Allah, penuhilah permintaan kami ini, kamilah hamba-Mu yang lemah, harapan kami hanya kepadaMu, Engkau Maha Mendengar, Engkaulah Penguasa satu-satunya Yang Haq, Engkaulah sebaik-baik Pemberi yang diharap.
اللَّهُمَّ رَبَّناَ لاَ تُزِغْ  قُلُوْبَناَ بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَناَ وَهَبْ لَناَ مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ ،
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى اْلمُرْسَلِيْنَ وَاْلحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ ، وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ .

Sabtu, 27 Agustus 2011

ASy-syafi: Yang Maha mnenyembuhkan

ASy-syafi: Yang Maha mnenyembuhkan Dasar penetapan
Nama Allah Ta’ala yang maha agung ini disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu membacakan doa perlindungan kepada salah seorang (anggota) keluarga beliau (dengan) mengusapkan tangan kanan beliau dan beliau membaca (doa):
« اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَاسَ ، اشْفِهِ وَأَنْتَ الشَّافِى ، لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا »
Ya Allah Rabb (pencipta dan pelindung) semua manusia, hilangkanlah penyakit ini dan sembuhkanlah, Engkau adalah asy-Syaafi (Yang Maha Penyembuh), tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan (dari)-Mu, kesembukan yang tidak meninggalkan penyakit (lain)[1].
Juga dalam hadits shahih yang lain, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu tentang ruqyah (doa/zikir perlindungan) yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Anas radhiyallahu ‘anhu menyebutkan doa yang mirip dengan doa di atas.
Berdasarkan hadits-hadits ini, para ulama menetapkan nama asy-Syaafi (Yang Maha Penyembuh) sebagai salah satu dari nama-nama Allah Ta’ala yang maha indah, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[2], Imam Ibnul Qayyim[3], syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin[4], syaikh ‘Abdur Razzak al-Badr[5] dan lain-lain.
Makna nama Allah Ta’ala asy-Syaafi
Imam Ibnul Atsir menjelaskan bahwa asal kata nama ini secara bahasa berarti lepas (sembuh) dari penyakit[6].
Sedangkan imam Fairuz Abadi menjelaskan bahwa arti asal kata nama ini (asy-syifa’) adalah obat penyembuh[7].
Sementara al-Haliimi menjelaskan bahwa maknanya secara bahasa adalah menghilangkan sesuatu yang menyakiti atau merusak pada badan manusia[8].
Maka nama Allah Ta’ala asy-Syaafi berarti Yang Maha Menyembuhkan segala penyakit lahir maupun batin. Dialah yang menyembuhkan hati manusia dari berbagai syubhat (kerancuan/kesalahpahaman dalam memahami Islam), ketidakyakinan, iri, dengki dan penyakit-penyakit hati lainnya, serta menyembuhkan badan manusia dari berbagai macam penyakit dan kerusakan. Tidak ada satu pun yang mampu melakukan semua itu kecuali Allah Ta’ala semata, maka tidak ada kesembuhan penyakit selain kesembuhan dari-Nya dan tidak ada asy-Syaafi (Yang Maha Penyembuh) kecuali Dia, sebagaimana ucapan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang dinukil dalam al-Qur’an,
{وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ}
Dan apabila aku sakit Dialah Yang menyembuhkan aku” (QS asy-Syu’araa’: 80). Artinya: jika aku ditimpa suatu penyakit maka tidak ada satupun yang mampu menyembuhkanku selain Allah Ta’ala, dengan sebab-sebab yang ditetapkan-Nya membawa kesembuhan bagiku[9].
Dan makna inilah yang diisyaratkan dalam doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, “Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan (dari)-Mu”[10].
Penjabaran makna nama Allah asy-Syaafi
Imam Ibnul Qayyim ketika menjelaskan makna doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, beliau berkata: “Dalam ruqyah (doa/zikir perlindungan) ini (terdapat) tawassul (usaha/sebab untuk mendekatkan diri) kepada Allah dengan kesempurnaan (sifat) rububiyah-Nya (pengaturan-Nya atas semua urusan makhluk-Nya) dan kasih sayang-Nya dalam menyembuhkan (penyakit manusia), dan bahwa Dialah satu-satunya asy-Syaafi (Yang Maha Penyembuh), tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan (dari)-Nya. Maka ruqyah (doa/zikir perlindungan) ini mengandung tawassul (usaha/sebab untuk mendekatkan diri) kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya (mengesakan-Nya alam beribadah), (sifat) ihsan (kebaikan) dan rububiyah-Nya”[11].
Al-Halimi berkata, “Diperbolehkan untuk mengucapkan dalam doa: wahai asy-Syaafi (Yang Maha Penyembuh), wahai al-Kaafi (Yang Maha Pemberi kecukupan), karena Allah Ta’ala Dialah yang menyembuhkan dada (hati) manusia dari syubhat (kerancuan/kesalahpahaman dalam memahami Islam) dan keragu-raguan, juga dari (sifat) dengki dan khianat, serta menyembuhkan badan manusia dari berbagai macam penyakit dan kerusakan. Tidak ada yang mampu melakukan semua itu selain-Nya dan tidak ada yang (pantas) diseru dengan nama ini (asy-Syaafi) kecuali Dia”[12].
Allah Ta’ala Dialah Yang Maha Menyembuhkan segala macam penyakit manusia, dan tidak ada kesembuhan bagi mereka kecuali kesembuhan (dari)-Nya.
Kesembuhan dari Allah Ta’ala ada dua macam:
1. Kesembuhan yang bersifat maknawi dan rohani, yaitu kesembuhan dari penyakit-penyakit hati manusia
2. Kesembuhan fisik, yaitu kesembuhan dari penyakit-penyakit badan manusia[13].
Kedua macam penyembuhan ini terungkap dalam keumuman sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit kecuali Dia (juga) menurunkan obat (penyembuh) bagi penyakit tersebut”[14].
Allah Ta’ala menjelaskan dua macam kesembuhan ini dalam al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tentang penyembuhan yang pertama, yaitu penyembuhan penyakit hati manusia, Allah Ta’ala berfirman,
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ}
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasehat dari Rabbmu (al-Qur’an) dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia), dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS Yuunus:57).
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Allah menjadikan al-Qur’an bagi orang-orang yang beriman sebagai penyembuh, (dengan) mereka mengambil pengobatan dari nasehat-nasehat (yang terkandung dalam) al-Qur’an untuk (menyembuhkan) penyakit-penyakit yang merasuk ke dalam dada (hati) mereka, (juga penyakit yang berupa) bisikan dan godaan setan (yang akan merusak hati dan keimanan manusia), maka Allah mencukupkan (nasehat) bagi orang-orang yang beriman dengan penjelasan ayat-ayat-Nya sehingga mereka tidak butuh lagi kepada nasehat yang lain”[15].
Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,
{وَنُنزلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلا خَسَارًا}
Dan Kami turunkan pada al-Qur’an suatu yang merupakan penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian” (QS al-Israa’: 82).
Imam Ibnu Katsir berkata, “Arti ‘al-Qur’an sebagai penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman’: al-Qur’an akan menghilangkan penyakit-penyakit yang ada di hati mereka, yang berupa keraguan (ketidakyakinan), kemunafikan, kesyirikan, penyelewengan dan penyimpangan, maka al-Qur’an akan menyembuhkan semua (penyakit) tersebut…”[16].
Akan tetapi perlu diingatkan di sini, bahwa fungsi al-Qur’an sebagai petunjuk dari Allah Ta’ala untuk menyembuhkan penyakit hati, hanyalah bisa diambil oleh orang-orang yang mengimani kebenaran al-Qur’an serta memahami kandungan makna dan artinya.
Imam Ibnul Qayyim berkata, “al-Qur’an adalah penyembuh yang hakiki  dari berbagai syubhat (kerancuan/kesalahpahaman dalam memahami Islam) dan keragu-raguan (dalam keimanan), akan tetapi semua (manfaat al-Qur’an) itu tergantung dari (sejauh mana) kita memahami (kandungan) artinya dan mengetahui maksud (penafsiran yang benar) darinya”[17].
Adapun tentang penyembuhan yang kedua, yaitu penyembuhan pada fisik dan badan manusia, ini ditunjukkan dalam beberapa hadits yang shahih.
Misalnya, hadits riwayat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu tentang beberapa orang shahabat yang melakukan safar (perjalanan), lalu mereka singgah di sebuah perkampungan Arab, kemudian kepala suku perkampungan tersebut sakit karena disengat binatang buas, dan salah seorang shahabat mengobatinya dengan membaca surat al-Fatihah, maka serta merta orang tersebut sembuh total, Lalu mereka diberi hadiah beberapa ekor kambing. Kemudian setelah pulang dari perjalanan tersebut, mereka menceritakan kejadian tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliaupun membenarkan perbuatan mereka seraya bersabda: “Dari mana kamu mengetahui bahwa surat al-Fatihah adalah ruqyah (doa/zikir untuk penyembuhan)?”, bahkan kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta bagian dari hadiah kambing tersebut”[18].
Juga hadits riwayat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ditimpa sakit, beliau membaca al-mu’awwidzaat (surat al-Falaq dan an-Naas) untuk diri beliau sendiri dan meludah sedikit. Lalu ketika sakit beliau sudah parah, akulah yang membacanya untuk beliau dan aku mengusap dengan tangan beliau karena mengharap keberkahannya”[19].
Pengaruh positif dan manfaat mengimani nama Allah asy-Syaafi
Keimanan yang benar terhadap nama-Nya yang maha agung ini akan menjadikan seorang hamba selalu menghadapkan diri dan berdoa kepada-Nya semata-mata agar Dia memudahkan kesembuhan segala penyakit pada dirinya, utamanya penyakit-penyakit hatinya yang merupakan penghalang utama bagi manusia untuk mencapai ridha Allah Ta’ala.
Bersihnya hati manusia dari noda dan penyakit merupakan sumber utama kebaikan manusia di dunia dan akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging,  jika itu baik maka akan baik seluruh tubuh manusia, tapi jika itu buruk maka akan buruk seluruh tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia”[20].
Oleh karena itu, Allah Ta’ala tidak akan menerima hamba yang datang menghadap-Nya pada hari kiamat nanti, kecuali yang datang dengan hati yang bersih dari segala penyakit.
Allah Ta’ala berfirman,
{يَوْمَ لا يَنْفَعُ مَالٌ وَلا بَنُونَ إِلا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ}
Hari (kiamat) yang (pada waktu itu) harta dan anak-anak tidak bermanfaat, kecuali orang-orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (QS asy-Syu’araa’: 88-89).
Artinya: hati yang bersih dari syirik (menyekutukan Allah), keraguan, mencintai keburukan, serta bersikeras pada perbuatan bid’ah dan maksiat[21].
Semua penyakit hati bersumber dari buruknya hawa nafsu manusia, sehingga hati ini terhalang untuk mencapai kedekatan dengan Allah Ta’ala.
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Orang-orang yang menempuh jalan (untuk mencari keridhaan) Allah Ta’ala, meskipun jalan dan metode yang mereka tempuh berbeda-beda, (akan tetapi) mereka sepakat (mengatakan) bahwa nafsu (jiwa) manusia adalah penghalang (utama) bagi hatinya untuk sampai kepada (ridha) Allah, (sehingga) seorang hamba tidak (akan) mencapai (kedekatan) kepada Allah kecuali setelah dia (berusaha) menentang dan menguasai nafsunya (dengan melakukan tazkiyatun nufus)”[22].
Maka Allah U Dialah satu-satunya yang maha mampu untuk membersihakn hati dan mensucikan jiwa manusia dari segala penyakit tersebut, karena Dia Y adalah asy-Syaafi (Yang Maha Penyembuh) dan tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan (dari)-Nya, sebagaimana sabda Rasulullah r dalam hadits di atas.
Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam doa beliau yang terkenal, mengisyaratkan bahwa kebersihan hati dan kesucian jiwa hanyalah semata-mata berasal dari Allah Ta’ala, yaitu doa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Ya Allah, anugerahkanlah kepada jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah jiwaku (dengan ketakwaan itu), Engkau-lah Sebaik-baik Yang Mensucikannya, (dan) Engkau-lah Yang Menjaga serta Melindunginya[23].
Penutup
Demikianlah, dan kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia memudahkan bagi kita kesembuhan dari penyakit lahir dan batin untuk mencapai kesempurnaan iman dan keridhaan-Nya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 21 Jumadal ula 1432 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Artikel www.muslim.or.id

[1] HSR al-Bukhari (no. 5311) dan Muslim (no. 2191). [2] Dalam kitab “Majmuu’ul fataawa” (2/380).
[3] Dalam kitab “Zaadul ma’aad” (4/172).
[4] Dalam kitab “al-Qawaa-idul mutsla” (hal. 42).
[5] Dalam kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 287).
[6] Kitab “an-Nihayah fi gariibil hadits wal atsar” (2/1189).
[7] Kitab “al-Qamuusul muhiith” (hal. 1677).
[8] Kitab “al-Minhaaj fi syu’abil iimaan” (1/209).
[9] Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/450).
[10] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 287).
[11] Kitab “Zaadul ma’aad” (4/172).
[12] Kitab “al-Minhaaj fi syu’abil iimaan” (1/209).
[13] Lihat kitab “Syarhu asma-illahil husna” (hal. 115).
[14] HSR al-Bukhari (no. 5354).
[15] Kitab “Tafsir ath-Thabari” (1/67).
[16] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/83).
[17] Kitab “Igaatsatul lahfaan min masha-yidisy syaithaan” (1/44).
[18] HSR al-Bukhari (no. 2156) dan Muslim (no. 2201).
[19] HSR al-Bukhari (no. 4728) dan Muslim (no. 2192).
[20] HSR al-Bukhari (no. 52) dan Muslim (no. 1599).
[21] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (Hal. 593).
[22] Kitab “Ighaatsatul lahfaan” (hal. 132 – Mawaaridul amaan).
[23] HSR Muslim dalam “Shahih Muslim” (no. 2722).

Jumat, 26 Agustus 2011

Nuzulul Quran


NUZUL QUR'AN
Para   ahli sejarah banyak berbeda  pendapat    tentang    kapan waktu pertama kali  diturunkan-nya Al-Qur’an, dimana saat tersebut Allah سبحانه وتعلى memuliakan Muhammad صل اللة عليه وسلم dengan Nubuwah.

Berpendapatlah satu kelompok yang besar bahwa hal tersebut terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal dan kelompok yang lain berpendapat bahwa itu terjadi pada bulan Ramadhan kemudian yang lainnya mengatakan pada bulan Rajab (Lihat Mukhtashar Sirah Rasul oleh Syaikh Abdullah Bin Muhammad Bin Abdul Wahab An-Najdi hal : 75) dan pendapat yang kami kuatkan diantara ketiga pendapat tersebut adalah pendapat yang kedua yaitu pada bulan Ramadhan sebagaimana firman Allah سبحانه وتعلى:
 شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ … البقرة:185
Bulan Ramadhan yang didalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an …..” (QS. Al-Baqarah : 185)Kemudian dalam surah lain Allah سبحانه وتعلى berfirman :
 إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيـْلَةِ الْقَدْرِ  القدر :1
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an pada malam kemuliaan (lailatul qadri)” (QS. Al-Qadr:1)     

Dan dengan demikian telah diketahui bahwa Al-Qur’an diturun-kan pertama kali di malam lailatul qadri pada bulan Ramadhan, dan bulan inilah yang dimaksud dalam firman Allah سبحانه وتعلى :
 إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنـْذِرِينَ الدخان :3
“Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Qur’an) pada satu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kamilah yang memberi-kan peringatan” (QS. Ad-Dukhaan : 3).     

Dan yang menguatkan pendapat ini adalah karena Rasulullah صل اللة عليه وسلم berada di gua Hira pada bulan Ramadhan dan pada saat itulah turun Jibril sebagaimana yang yang disebutkan oleh ahli sejarah.     

Kemudian Ulama berbeda pendapat tentang hari dan tanggal awal turunnya wahyu pada bulan Ramadhan. Pendapat pertama menga-takan bahwa awal turunnya wahyu pada hari yang ke tujuh dan yang lain berpendapat bahwa hal itu terjadi pada hari yang ketujuh belas dan pendapat yang lain pada hari yang kedelapan belas (Lihat Rahmatan Lil’alamin 1:49).

Dan Al-Khudhori telah menetapkan dalam beberapa muhadharahnya (ceramahnya) bahwa hal itu terjadi pada hari yang ketujuh belas (pendapat ini banyak dianut di Indonesia).Namun demikian kami menguatkan bahwa awal turunnya wahyu adalah pada hari yang ke dua puluh satu walaupun kami tidak mendapatkan siapa yang berpendapat seperti itu. Kami memilih tanggal ini karena seluruh ahli sejarah atau kebanyakan dari mereka telah sepakat bahwa Rasulullah صل اللة عليه وسلم diutus pada hari Senin dan hal itu didukung dengan apa yang diriwayatkan oleh imam-imam hadits. Dari Abu Qatadah Al Anshari, bahwa Rasulullah  صل اللة عليه وسلم ditanya tentang puasa hari Senin maka beliau bersabda :
فِيهِ وُلِدْتُ وَفِيهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ  

“Pada hari tersebut (Senin) aku dilahirkan dan pada hari tersebut pula diturunkan kepadaku wahyu”.(HR. Ahmad)

Dan pada lafadz lain :
ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ  فِيْهِ 

”Pada hari itu (Senin) aku dilahirkan dan hari itu aku diutus (menjadi rasul) dan pada hari itu pula diturunkan padaku wahyu“ (HR. Muslim, Ahmad, Al-Baihaqi dan Al-Hakim)    
Dan hari Senin bulan Ramadhan pada tahun itu bertepatan hari ketujuh, keempat belas dan kedua puluh satu serta hari kedua puluh delapan.

Dan di dalam hadits yang diriwayat-kan oleh Aisyah رضي الله عنها, Rasulullah صل اللة عليه وسلم bersabda :
  تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ اْلأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Carilah malam lailatul qadri pada tanggal-tanggal ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa malam lailatul qadri tidak terjadi kecuali pada hari ganjil pada sepuluh malam terak-hir di bulan Ramadhan dan lailatul qadri akan berpindah antara malam-malam tersebut, hadits ini juga menun-jukkan bahwa Al-Qur’an pertama kali turun bukan pada tanggal tujuh dan tanggal empat belas, kerena tidak termasuk dalam sepuluh malam terak-hir di bulan Ramadhan, dan bukan juga bukan pada tanggal dua puluh delapan, kerena malam lailatul qadri hanya terdapat dalam malam-malam ganjil.
Maka apabila kita hubungkan firman Allah سبحانه وتعلى :
 إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيـْلَةِ الْقَدْرِ  القدر :1
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an pada malam kemuliaan (lailatul qadri)” (QS. Al-Qadr:1)

Dengan hadits riwayat Abu Qatadah Al Anshari, dapat di simpulka bahwa Rasulullah  صل اللة عليه وسلم diutus pada hari Senin serta menurut perhitungan kalender hijriyah tentang tanggal berapa hari Senin pada tahun tersebut maka akan nampak bagi kita bahwasanya awal turunnya Al Qur’an (Nuzulul Qur’an) adalah pada malam yang kedua puluh satu pada bulan Ramadhan –Wallahu A’lam-.

Perlukah Nuzulul Qur’an dirayakan ?

Peristiwa Nuzulul Qur’an tidaklah diharapkan agar dijadikan sebagai hari raya oleh ummat ini, yang dirayakan setiap tahun, karena Islam bukanlah agama perayaan sebagaimana agama-agama lainnya.
    
Islam tidak memerlukan polesan, tidak perlu dibungkus dengan perayaan-perayaan yang membuat orang tertarik kepadanya. Allah سبحانه وتعلى berfirman:
  اَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنـَكُمْ وَ أَتــْمـَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمـَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْنـــًا  المائدة : 3
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu “ (QS. Al Maidah : 3)

Islam hanya mengenal dua hari raya dalam setahun yaitu ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha tidak lebih dari itu. Dengan demikian memperingati hari pertama kali turunnya Al-Qur’an tidaklah disyariatkan, sebab tidak dicontohkan oleh Rasulullah صل اللة عليه وسلم. Rasulullah صل اللة عليه وسلم bersabda :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan (peribadatan) yang tidak ada contohnya dari kami maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim)
     
Seandainya perayaan tersebut dianggap baik, tentu Rasulullah صل اللة عليه وسلم dan para shahabatnya yang pertama kali merayakannya, namun hal tersebut tidak mereka lakukan.

Bagaimana Memperingati Nuzulul Qur’an

Memperingati peristiwa pertama kali turunnya Al Qur’an tersebut dapat dilakukan dengan mengikuti jejak ulama-ulama salaf yaitu dengan membaca Al Qur’an setiap saat tanpa ada batasan waktu, Allah سبحانه وتعلى barfirman:
 إِنَّ الَّذِيْنَ يَتـْلُوْنَ كِتـَابَ اللهِ وَأَقَامُوْا الصَّلاَةَ وَأَنـْفَقُوْا مِمَّا رَزَقْنـَاهُمْ سِرًّا وَعَلاَنِيـَةً يَرْجُوْنَ تــِجَارَةً لَنْ تــَبُوْرَ  فاطر :29
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian dari rizki yang Kami anugrahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi” (QS. Faathir:29)     

Apalagi di bulan Ramadhan, bulan Qur’an, Bulan yang digandakan padanya kebaikan dan ketaatan. Utsman bin Affan رضي الله عنه berkata : “Seandainya hati kita bersih, tentu tidak akan merasa kenyang dari kalam Allah, sesungguhnya aku amat tidak suka mana kala datang sebuah hari sementara aku tidak membaca Al Qur’an” Karena itu beliau tidak meni-nggal hingga mushaf Al Qur’annya sobek karena seringnya dibaca.
     
Para tabi’in dan atbaut tabiin, karena begitu memahami arti dari Ramadhan sebagai bulan Al Qur’an maka begitu kuatnya mereka dalam mencintai Al Qur’an, seperti yang dilakukan Imam Az Zuhri dan Sufyan Ats Tsauri, mereka mengkhatamkan Al Qur’an sampai berpuluh-puluh kali.
    
Imam Qatadah di luar Ramadhan mengkhatamkan setiap tujuh hari, di dalam Ramadhan khatam sampai tiga hari. Sementara Imam Syafi’i diluar bulan Ramadhan dalam sebulannya mengkhatamkan Al Qur’an  tiga  puluh kali dan di dalam bulan Ramadhan mengkhatamkan Al Qur’an sebanyak enam puluh kali itu semua di luar shalat. Demikianlah ulama Ahlus sunnah tidak pernah merayakan Nuzulul Qur’an, namun setiap harinya khatam Al Qur’an ada yang sekali dan ada yang dua kali, sementara kita di bulan Ramadhan jika hanya mampu khatam satu kali saja sudah merasa puas dan gembira. Itupun dapat dihitung dengan jari.
     
Syekhul Islam selama dalam penjara, dari tanggal 7 Sya’ban 726 H sampai wafatnya 22 Dzulqo’dah 728 H, selama 2 tahun 4 bulan telah mengkhatamkan Al Qur’an bersama saudaranya Syekh Zainuddin Ibnu Taimiyah sebanyak 80 kali khatam, yang berarti rata-rata beliau meng-khatamkan Al Qur’an setiap 10 hari.

Semoga Allah merahmati kita semua sehingga dapat meneladani Rasulullah  dan para shahabatnya dan para ulama salaf dalam mencintai Al Qur’an dan ibadah-ibadah mereka. (Al Fikrah)
-Muhammad Anas Syukur-
Maraji’ : Ar Rahiqul Makhtum, Asy Syekh Shafiyurrahman Al Mubarakfuri – حفظه الله -